"Seorang Sufi masuk ke medan pertempuran, namun ketika pihaknya dipukul mundur, dia tidak mundur. Dia bertahan walaupun diliputi mara bahaya dan terluka.
Dia membalut luka-lukanya dan kembali maju bertempur
Dia siap menderita dengan dua puluh luka. Dia tidak ingin mati dengan mudah,
seketika hanya dengan satu pukulan.
Ada orang memiliki empat puluh keping perak.. Dia mengambil satu keping sehari dan membuangnya ke selokan air. Dia berupaya menaklukkan jiwa kebinatangannya untuk menghentikan ketamakan.
"Tanggalkan ketamakan," seru jiwa,"agar aku terlepas bebas dari penyiksaan ini."
"Tidak, "jawab orang itu. "Kewaspadaan yang hati-hati adalah cara yang kutempuh.
Dengan terus-menerus terluka, akhirnya Sufi itu gugur dan mati ke dalam sumber kebenaran. Banyak orang yang belum matang yang tidak siap meninggal, dan jiwa kebinatangan mereka terlepas ke dalam alam baka, namun jiwa-jiwa yang tidak siap ini tetap merupakan pencuri. Pedang dimusnahkan, kudanya dibunuh, tetapi perampoknya masih hidup. Demikian tidak setiap orang yang mati terbunuh di medan perang disebut martir suci.
Matilah dalam kecenderungan daging dan teruslah jalani kehidupan.
Bunuhlah sisi kebinatangan diri dengan pedangmu, dan tubuh adalah pedangmu.
Biarkan Allah mengurusi pedang itu, Maka jati dirimu akan segera berubah secara ajaib.
Engkau tetap menjadi prajurit penuh semangat dengan pedang tangkas, namun saat itu engkau benar-benar telah berubah.
Ketika bagian itu mati, hampa,
hampa sama sekali, maka Allah hadir mengisinya penuh.
Dengan itu, satu-satunya santapan hanyalah kasih Allah."
(Masnawi, V, 3810-3830)
0 Komentar